
Putih Biru
Tring … tring … tring … duarddttt … duarddttt …
Dentuman bunyi alarm membangunkan ragaku yang terlelap tidur semalaman. Pukul 04.30 WIB, seperti biasanya aku mengambil wudhu untuk menunaikan ibadah salat lima waktu. Tepat pukul 05.30 WIB aku pun mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.
“Mah aku berangkat udah jam 6 lebih, Assalamu’alaikum,” ucapku sambil mencium punggung tangan untuk berpamitan pada mamah.
“Iya Lang, semangat yak buat hari pertama sekolah, Wa’alaikumsalam,” jawab mamah.
Aku berangkat ke sekolah dari rumah berjalan kaki dan di pertigaan jalan aku berhenti untuk naik si si roda empat oren. Saat tiba di sekolah ada intruksi dari penjaga sekolah untuk langsung saja ke lapangan karena akan segera dibagikan kelas sesunguhnya.
“Baik, sekarang bapak akan sebutkan nama kalian yang terdaftar di kelas A. Yang pertama, Ade Masyudi, berikutnya Amanda Alaska, Bintang Kejora, …” terdengar seorang guru BP yang berkumis tebal dan rambut yang sudah dihiasi oleh warna putih sampai akhirnya dia memanggil namaku. “Gilang Aldebaran.” panggilnya. Aku pun langsung menuju teman-temanku yang sudah berkumpul dengan yang yang lainnya. Tatapan menakutkan. Itulah yang aku rasakan saat itu. Aku mengerutkan dahi dan bertanya pada diriku sendiri memangnya ada apa dengan diriku.
Setelah pembagian kelas selesai, semuanya langsung memasuki kelasnya masing-masing. Aku memasuki ruangan kelasku yang berada di atas. Sebuah ruangan dengan warna krem bersih dihiasi dengan berbagai elemen sekolah menyambutku seakan dia tahu bahwa aku akan dating.
Hari pertama sekolah diisi dengan perkenalan dan pembagian jadwal pelajaran. Saat aku perkenalan entah kenapa aku merasakan ketakutan dan gelisah.
“Assalamualaikum, perkenalkan nama saya Gilang Aldebaran alumni dari SD Negeri Sukasenang, salam kenal dari saya,” ujarku menampilkan senyuman terbaikku.
“Heh liat deh, penampilannya cupu banget, suaranya cempreng, lo cewek apa cowok atau jangan-jangan? Hahahahahah,” ledek Amin, pria jangkung dengan behel ungu yang mencolok mengunci rapat giginya. Dia tertawa renyah sambil diikuti siswa yang lainnya.
“Diam semuanya!” sentak Bu Nia, wali kelas aku di sekolah.“Gilang, kamu boleh duduk, jangan dengerin kata mereka dan jangan dimasukkan ke dalam hati perkataan Amin barusan,” sambutnya sambil tersenyum kepadaku.
“Yang sabar ya Lang, gak usah didengerin omongan Amin itu, jijik gue liatnya, gigi page pagar gitu, mana warnanya ungu bikin mata gua siwer, dasar terong sejati, cungkring lagi, dia pikir keren kali yak kek begitu, dasar norak!” ucap Rangga, teman pertamaku di sekolah. Aku hanya bias tersenyum sambal menahan betapa sakit hati ini diperlakukan seperti itu.
Tiga puluh menit berlalu, semuanya sudah memperkenalkan diri mereka masing-masing. Di hari ini juga dibentuklah struktur organisasi kelas.
Kring … kring … kring …
Bel istirahat pun berbunyi.
“Lang ke kantin yuk! Gue laper nih, cari makan sekalian cari mangsa siapa tau ada cewek cantik nyantol sama gue hehe,” ajak Rangga dengan ekspresi cerianya. Memang, tingkah laku dia agak kekanak-kanakan.
“Ayo, gue juga laper sekalian mau nyari angin gara-gara tadi,” jawabku.
Aku dan Rangga duduk di bangku kantin dekat pedagang batagor sekalian memesan dua porsi batagor. Sambil menunggu pesanan datang, ada dua orang perempuan datang menghampiri meja kami.Ya, dia adalah Sindi dan Okta, teman sekelasku tadi.
“Hai, boleh gabung gak?” sapa Sindi dengan senyum yang begitu khas membuat siapa saja yang melihatnya akan merasakan ketenangan.
“Boleh kok, sini aja duduk gabung sama kita,” jawab Rangga dijawab dengan senyuman juga.
“Ngomong-ngomong, kalian masih ingat kan sama kita?” tanya Okta sambil menyeruput es kelapa yang ia beli sebelum bergabung denganku dan Rangga.
“Ya masih lah, lo Okta kan dan lo Sindi, betul gak? Salam kenal ya kalian,” jawabku tersenyum sambil menunjuk Sindi dan Okta secara bergantian.
Akhirnya pesanan aku dan Angga datang. Kejadian yang terjadi tadi pagi hilang begitu saja ketika aku bertemu mereka. Kami bercerita, bersenda gurau, dan tertawa bersama. Mungkin, merekalah yang nantinya akan terus menghiburku disaat aku sedang terpuruk karena jujur saja semenjak kejadian tadi pagi aku jadi khawatir melewati hari-hariku di sekolah.
“Kenapa tiba-tiba perasaan gua jadi gak enak gini ya?” gumamku sambil berjalan melewati koridor sekolah.
***
Cerita selanjutnya…
Satu respons untuk “Skenario”